BANDUNG - Di awal perkuliahan semester, aku meminta mahasiswa untuk memperkenalkan dirinya satu persatu - bergantian, menyampaikan nama, asal sekolah, alasan masuk jurusan ilmu komunikasi, serta harapannya.
Itu berlangsung cukup lama. Satu jam mata pelajaran penuh tawa dan canda, khas mahasiswa. Kelas menjadi hidup dengan empat puluh dua orang putra dan putri, berceloteh, berpendapat, mengolah fikir, secara logis-sistematis membahas, berbagai persoalan, berbagai isu masyarakat, bangsa, dan dunia.
Baca juga:
Bappenas Apresiasi SDGs Center UNAIR
|
Ada yang menarik, ketika seorang mahasiswi
memperkenalkan diri, sambil ia merapihkan
letak kerudungnya, memperlihatkan wajah yang teduh, cerdas, gembira.
Suaranya keras, lantang “Namaku SITI, ” katanya menggema ruang kelas, terdiam sebentar, matanya berkaca-kaca mengarah padaku. Suasana kelas hening seketika, kemudian ia berkata lagi.
“Terimakasih kepada kedua orang tuaku,
yang telah memberikan namaku, dengan sebuah nama yang keren, SITI “ katanya antusias, sambil ia melempar senyum tertuju pada seorang pria yang duduk di bangku pojok-tengah. Pria itu pun menatapnya, sambil mengacungkan jempol tinggi keatas.
“Setuju, ” komentarnya setengah berteriak. Kata Itu pun diikuti oleh yang lain. Riuh tak terelakkan. Banyak kata yang dilontarkan.
Siti, cukup percaya diri untuk melanjutkan,
“Nama SITI itu, membumi banget, ” katanya datar.
Pidato Presiden baru-baru ini, berharap, setiap anak bangsa, dapat bersama membangun karakter bangsa, ” katanya
“Karakter itu, apa? bisa dari nama, yang kita sematkan di udara, di laut, dan di daratan nusantara walau ada yang berkata, “apalah arti dari sebuah nama.”
Menjadi keprihatinan kita, di lingkungan terdekat kita, terdapat banyak nama-nama berbau asing. Pada tempat perumahan, pada produk, dan lain sebagainya. Menjadikan kita
terkadang merasa asing, di negeri sendiri. Tempat dimana kita lahir, kita tumbuh, bersekolah, bekerja, bermimpi tentang Indonesia. Apa yang kita lakukan di tengah bangsa dunia.
Yang tentu berbeda, suku budayanya. Budaya itu dapat berubah-ubah, karena, budaya itu hasil pikir manusia yang terus berubah di tempat, dimana ia berada.
Ada yang berkata, Indonesia telah maju telah mengenakan yang barat-barat, musik, makanan, hiburan, fashion. Sebuah industri yang mereka dendangkan pada manca negara yang mampu mereka ubah.
Lama kurenungi, dan bertanya, apa hal seperti itu, disebut negara maju, kiranya perlu, kita mencari jawaban apa sesungguhnya yang disebut kemajuan suatu bangsa.
Secara kasat mata, tak terlihat produk industri
hasil tangan-tangan anak negeri, lebih banyak membeli dan mengimpornya.
Aku kagum pada tokoh India sekaligus tokoh dunia: Mahatma Gandhi, dia telah mencontohkan rakyatnya menjadi negara industri yang mampu menatap kemajuan bangsa. Nama-nama yang mereka sematkan pada industri-industri dan budaya, Film dan nyanyian. Yang memegang erat yang menjadi jati dirinya
Sebagai pembeda dari bangsa lain. Orang Jepang, bangga dengan nama dan budaya Jepangnya, Orang Korea pun bangga dengan nama dan budaya Koreanya, dan seterusnya.
Pertanyaannya, apakah kita tidak cukup bangga dengan nama Indonesia?.”
Kelas menjadi hening, dan Siti memberi jeda waktu. Entah apa yang ada dipikiran benak mahasiswa.
“Perbedaan itu menarik untuk dilihat dan diperbincangkan.Pada lambang Negara – Pancasila, pun tertulis: Bhineka tunggal ika. Diartikan: berbeda tapi tetap satu. Pun, Lima belas abad yang lalu.
Al-Quran menyebutnya: Kujadikan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling kenal mengenal. Berbeda-beda bukan untuk dipertentangkan, bukan pula untuk mem-bulinya.
Perbedaan itu, You and My teori sosiologi menyebutnya, nama tidak terlepas dari keluarga dan lingkungan ia berasal. Karena aku berasal dari Jawa Barat, SITI adalah nama yang keren.” katanya bersemangat
“Nama Siti, adalah juga produk lokal, yang juga mendunia” katanya lagi
Seketika kelas menjadi riuh, bersahutan. Ada yang mengacungkan kepal tangannya ke atas, sambil berteriak
”Hidup SITI...Hidup Siti....hidup Siti”
Derai tawa pun terdengar lepas, jelas hingga ke ruang kelas lain.
“Harapanku, mari kita bangun nama-nama
Dari akar budaya, dan milik kita, Dengan memberi warna. Warna Indonesia”. Tegas Siti mengakhiri.
Menjadi menarik bagi mahasiswa kuliah dihari pertama, Setelah beberapa pekan libur semester. Pembicaraan di kelas itu, menggelitik pikiranku mencari tau, asal nama Siti itu.
Dengan membuka literatur dan lainnya, Kata Siti itu berasal dari serapan kata Sayyidati
dari bahasa Arab, memiliki makna dihormati.
Tercatat dalam sejarah, terdapat sejumlah tokoh perempuan dunia bernama Siti dimuka bumi ini.
Mulai dari nenek moyang manusia pertama;
Siti Hawa, ketika di Bukit Jabal Rahmah, Mekkah. Wanita tangguh dan sabar. Sabar ketika menunggu Nabi Adam yang diturunkan Allah ke bumi yang berjauhan.
Kemudian Siti hajar, juga wanita tangguh dan sabar. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk mengajak isterinya, Sti Hajar dan puteranya Ismail ke daratan tandus dan kering di antara dua bukit. Sebuah gurun yang sangat panas, gersang tanpa peradaban. Ketika Ibrahim harus meninggalkan mereka berdua disana.
Nabi Ibrahim tidak menoleh sekali pun kepada Siti Hajar, meski ia menangis dan terus memanggil namanya. Semakin jauh Nabi Ibrahim meninggalkannya, Siti Hajar lalu mengejar suaminya dan mengatakan: “Ke mana engkau akan pergi dan meninggalkan kami di padang pasir yang tidak ada manusia dan bahkan kehidupan ini?
Apakah Allah SWT memerintahkan kamu wahai suamiku?”
“Benar” jawab Ibrahim.
“Kalau begitu, Allah pasti tidak akan membiarkan kami, ” kata Siti Hajar.
Dan benar, ia menjalani apa yang telah diajarkan suaminya Ibrahim tunduk dan patuh pada Allah semata, pencipta semesta alam.
Dan, Langkah-langkah kecil Siti hajar, berjalan
bolak balik diantara dua bukit Shafa ke Marwa hingga tujuh kali dari bukit Shafa ke Marwa, dan sebaliknya.
Di tengah kegelisahan dan keputusasaan, Siti Hajar memohon kepada Allah agar diberikan yang terbaik untuk kehidupannya dan sang putra. Setelah itu, Allah kemudian memberikan mukjizat-Nya.
Sumber mata air, yang kini dikenal sebagai mata air Zamzam. Itu pula yang diikuti muslim melakukan Sai dalam kegiatan berhaji dan umrah. Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Baqarah ayat 158,
"Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui."
Dan banyak lagi Siti, Siti yang lain, sebagai wanita tangguh dan sabar.
Aku tersenyum, membayangkan Siti tadi pagi
Matanya tajam, cerdas sesuai dengan namanya, tenang, supel, mudah bergaul.
Semoga harapan Siti, juga harapan mahasiswa lainnya dapat tercapai dan dapat berguna bagi masyarakat dan bangsa. Amin.
Bandung
Eddy Syarif
Tukang Foto Kelilinh